Rabu, 30 September 2015

Dekat di Hati


Jauh di mata dekat di hati, begitulah gambaran singkat tentang aku dan Mama saat ini. Setelah lulus SMA, aku memutuskan untuk menimba ilmu ke pulau seberang. Masih teringat jelas olehku, Mama mengatakan bahwa ia tidak mempermasalahkan aku kuliah di mana. Di satu sisi, aku bersyukur bisa kuliah sesuai dengan jurusan yang aku minati, tapi di sisi lain rasanya berat untuk meninggalkan rumah, terutama meninggalkan Mama dan Papa yang sangat aku cintai.
Namun jarak bukanlah suatu masalah, aku dan Mama tetap rutin berkomunikasi melalui telepon genggam. Suatu hari mama mengganti foto tampilannya di BlackBerry Messenger. Ia mengenakan topi bundar kesayangannya di foto tersebut.
“Teh, foto mama cantik gak?”
“Beautiful as always, Mom.”
Aku tersenyum membaca pesan dari Mama. Tidak lama kemudian, ia mengganti personal message-nya dengan kata-kata yang baru saja aku katakan kepadanya, “Beatiful as always”. Mama itu setiap hari memang selalu rapi dan cantik. Salah satu alasannya juga karena Mama dan Papa memiliki usaha salon khusus wanita dan di salon tersebut Mama yang meng-handle semuanya. Makanya Mama harus rapi dan cantik karena berhadapan dengan tamu-tamunya setiap hari. Aku juga tidak heran jika Mama selalu lama membalas pesan dariku. Kalau aku mengirim pesannya pagi, balasan dari Mama baru muncul saat malam hari. Mama sibuk banget, mudah-mudahan ia tidak lupa makan. Mama kerap kali begitu, lupa makan.
Sore hari itu, aku menelepon mama untuk melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang akan aku tuangkan di tulisan ini. Awalnya aku bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang ringan, seperti kegiatan apa yang membuat Mama merasa senang.
“Kalau lagi make up, potong rambut, sama bikin puisi, Teh. Pokoknya kegiatan-kegiatan di salon itu mama suka, tapi kalau lagi iseng ya buat-buat puisi..”
Aku memang sudah mengetahui bahwa Mama pandai merangkai kata-kata biasa menjadi luar biasa. Aku pernah membaca salah satunya di facebook milik Mama. Menyentuh dan sangat indah. Lalu saat beranjak ke pertanyaan berikutnya, aku tak kuasa menahan air mata mendengar jawaban dari Mama. Sesekali ku hapus air mata dengan tisu, aku tegarkan suaraku agar Mama tidak tahu kalau aku menangis.
“Yaa Teteh..  Alasan dibalik bahagia itu bukan uang, Teh. Bahagia itu bisa lihat semuanya sehat, bisa kumpul bersama. Mama mah itu aja, walaupun anak-anak Mama kuliahnya jauh-jauh, tapi Teteh selalu ada di hati Mama, begitupun Mama selalu ada di hati Teteh. Terkadang yang buat Mama sedih kalau ada hal yang mau Mama ceritain ke anak-anak Mama, tapi Mama ga bisa ceritain, takut ganggu.”
“Teteh juga udah bilang kan ke Mama, kalau ada apa-apa, cerita aja. Mama mah engga pernah ganggu Teteh kok.”
“Bukan ganggu waktu Teteh maksudnya, kalau itu mah Mama juga tahu Teteh selalu meluangkan waktu buat teleponan sama Mama. Maksud Mama, takut mengganggu pikiran dan perasaan Teteh, takut nambah-nambahin pikiran Teteh.”
Aku tertegun kembali.
“Ma, pokoknya mah Mama cerita aja, gapapa. Teteh kan juga udah gede sekarang. Ya, Ma?”
“Iya, Teh. Udah, ada lagi gak yang mau ditanyain?”
 Sepertinya Mama mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan. Kemudian aku lontarkan pertanyaan selanjutnya kepada Mama, bagaimana perasaannya memiliki anak-anak yang kuliahnya jauh dari rumah. Ternyata ada perasaan bangga di hati Mama terhadap anak-anaknya, ia bangga karena anak-anaknya pergi jauh semata-mata untuk menuntut ilmu. Mama berpesan padaku untuk selalu ingat dua hal yaitu berdoa dan berusaha, maka akan selalu ada jalan yang akan Tuhan berikan.
Mama, terima kasih untuk kasih sayang yang tiada habisnya. Tersenyumlah, agar aku tersenyum. Jangan bersedih karena aku akan lebih merasakan kesedihan itu. Aku akan selalu ada untukmu, Ma. Aku akan berikan yang terbaik di setiap langkahku. Terima kasih telah menyimpan aku di dalam hatimu. Aku sangat menyayangimu. 
"Tulisan ini disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya dapat diakses di website http://nulisbarengibu.com” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar