Dekat di Hati
Jauh di mata dekat di hati, begitulah gambaran singkat tentang aku dan
Mama saat ini. Setelah lulus SMA, aku memutuskan untuk menimba ilmu ke pulau
seberang. Masih teringat jelas olehku, Mama mengatakan bahwa ia tidak
mempermasalahkan aku kuliah di mana. Di satu sisi, aku bersyukur bisa kuliah
sesuai dengan jurusan yang aku minati, tapi di sisi lain rasanya berat untuk
meninggalkan rumah, terutama meninggalkan Mama dan Papa yang sangat aku cintai.
Namun jarak bukanlah suatu masalah, aku dan Mama tetap rutin
berkomunikasi melalui telepon genggam. Suatu hari mama mengganti foto
tampilannya di BlackBerry Messenger. Ia
mengenakan topi bundar kesayangannya di foto tersebut.
“Teh, foto mama cantik gak?”
“Beautiful as always, Mom.”
Aku tersenyum membaca pesan dari Mama. Tidak lama kemudian, ia
mengganti personal message-nya dengan
kata-kata yang baru saja aku katakan kepadanya, “Beatiful as always”. Mama itu
setiap hari memang selalu rapi dan cantik. Salah satu alasannya juga karena
Mama dan Papa memiliki usaha salon khusus wanita dan di salon tersebut Mama
yang meng-handle semuanya. Makanya
Mama harus rapi dan cantik karena berhadapan dengan tamu-tamunya setiap hari. Aku
juga tidak heran jika Mama selalu lama membalas pesan dariku. Kalau aku
mengirim pesannya pagi, balasan dari Mama baru muncul saat malam hari. Mama
sibuk banget, mudah-mudahan ia tidak lupa makan. Mama kerap kali begitu, lupa
makan.
Sore hari itu, aku menelepon mama untuk melontarkan
pertanyaan-pertanyaan yang akan aku tuangkan di tulisan ini. Awalnya aku
bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang ringan, seperti kegiatan apa yang
membuat Mama merasa senang.
“Kalau lagi make up, potong
rambut, sama bikin puisi, Teh. Pokoknya kegiatan-kegiatan di salon itu mama
suka, tapi kalau lagi iseng ya buat-buat puisi..”
Aku memang sudah mengetahui bahwa Mama pandai merangkai kata-kata biasa
menjadi luar biasa. Aku pernah membaca salah satunya di facebook milik Mama. Menyentuh dan sangat indah. Lalu saat beranjak
ke pertanyaan berikutnya, aku tak kuasa menahan air mata mendengar jawaban dari
Mama. Sesekali ku hapus air mata dengan tisu, aku tegarkan suaraku agar Mama
tidak tahu kalau aku menangis.
“Yaa Teteh.. Alasan dibalik bahagia
itu bukan uang, Teh. Bahagia itu bisa lihat semuanya sehat, bisa kumpul
bersama. Mama mah itu aja, walaupun anak-anak Mama kuliahnya jauh-jauh, tapi
Teteh selalu ada di hati Mama, begitupun Mama selalu ada di hati Teteh. Terkadang
yang buat Mama sedih kalau ada hal yang mau Mama ceritain ke anak-anak Mama,
tapi Mama ga bisa ceritain, takut ganggu.”
“Teteh juga udah bilang kan ke Mama, kalau ada apa-apa, cerita aja.
Mama mah engga pernah ganggu Teteh kok.”
“Bukan ganggu waktu Teteh maksudnya, kalau itu mah Mama juga tahu Teteh
selalu meluangkan waktu buat teleponan sama Mama. Maksud Mama, takut mengganggu
pikiran dan perasaan Teteh, takut nambah-nambahin pikiran Teteh.”
Aku tertegun kembali.
“Ma, pokoknya mah Mama cerita aja, gapapa. Teteh kan juga udah gede
sekarang. Ya, Ma?”
“Iya, Teh. Udah, ada lagi gak yang mau ditanyain?”
Sepertinya Mama mencoba untuk
mengalihkan topik pembicaraan. Kemudian aku lontarkan pertanyaan selanjutnya
kepada Mama, bagaimana perasaannya memiliki anak-anak yang kuliahnya jauh dari
rumah. Ternyata ada perasaan bangga di hati Mama terhadap anak-anaknya, ia
bangga karena anak-anaknya pergi jauh semata-mata untuk menuntut ilmu. Mama
berpesan padaku untuk selalu ingat dua hal yaitu berdoa dan berusaha, maka akan
selalu ada jalan yang akan Tuhan berikan.
Mama, terima kasih untuk kasih sayang yang tiada habisnya. Tersenyumlah,
agar aku tersenyum. Jangan bersedih karena aku akan lebih merasakan kesedihan
itu. Aku akan selalu ada untukmu, Ma. Aku akan berikan yang terbaik di setiap
langkahku. Terima kasih telah menyimpan aku di dalam hatimu. Aku sangat
menyayangimu.
"Tulisan ini disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya dapat diakses di website http://nulisbarengibu.com”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar